Minggu, 03 April 2011

Sebangsa tapi tidak Merasa

Tidak merasa apaan nih? Gak jelas banget sih. Kalo Jelas ntar malah gak baca donk..He he - maksudnya tuh, ya Tidak Merasa Sebangsa lah. Saya terinspirasi untuk menulis Judul di atas setelah membaca buku ‘The Journey of a Muslim Traveler’  yang ditulus oleh Mas Heru Susetyo. Buku terbitan Tahun 2009 dari Lingkar Pena ini saya dapat dengan harga yang cukup bagus, lha wong beli pas ada obral. Walaupun belum habis bacanya, tapi saya gak tahan untuk membaginya kepada pengunjung Blog Sing Biasane.
 
Dalam buku ini, penulis mengisahkan bahwa disalah satu kunjunganya di Thailand, tepatnya di kota Pattani, provinsi Patani, Thailand Selatan. Kalau kita liat di Peta Dunia, Thailand Selatan berbatasan langsung dengan Malaysia. 

Sehingga budaya Melayu lebih kental daripada budaya Thai itu sendiri, misalnya mereka sangat menyukai lagu dan film Malaysia serta Indonesia. Bahasapun mereka lebih sering menggunakan bahasa Melayu, pakaian yang dikenakan serta penganut agama Islam banyak bertebaran di Pattani.

Sebenarnya penduduk Pattani lebih mirip orang Melayu, berbeda dengan penduduk Thailand pada umumnya yg bersuku Thai, karena sebenarnya mereka adalah keturunan Melayu. Bergabungnya tiga provinsi di selatan Thailand (Pattani, Yala dan Narathiwat) adalah kehendak dari Inggris dan Kerajaan Siam melalui perjanjian pada tahun 1909. Yang sama sekali tidak mendengarkan suara rakyat di tiga provinsi tersebut.  Siam itu menjajah tiga provinsi di selatan Thailand sampai kini, dan jangan sebut kami orang Thai atau Muslim Thai. Kami adalah Melayu Muslim Pattani.


Sehingga hingga saat ini banyak aktivitas atau kebudayaan Thai yang tidak dilakukan oleh warga Pattani, karena menurut mereka ‘kita berbeda Ideologi’. Banyak warga Pattani khususnya Muslim tidak ikhlas menjadi bagian dari negara Thailand. 

Utamanya Muslim di selatan Thailand yang secara kultur dan geografis lebih dekat ke dunia Melayu. Pattani memang terbilang dekat dengan Bangkok, tapi bagi sebagian warga Thai terasa begitu jauh (dihati). Karena Pattani adalah Dunia Melayu di Tanah Siam.
Saya sempat bertanya ke istri: “Gimana ya rasanya, seumpama kita nih orang Sumatera tetapi tidak bisa berbahasa Indonesia?”. “Ya gak masalah, lha bahasa Indonesia tuh sama juga bahasa Melayu” jawabnya, “oh iya ya” ini namanya pertanyaan yg bodoh. 

Maksud saya ; seumpama kita hidup di Riau (Sumatera) tapi tidak bisa berbahasa Jawa (misalnya bahasa jawa menjadi bahasa Nasional), dan harus melakukan ritual kejawen serta mengkultuskan Raja/ Sultan Jawa yang berada di Jogajkarta. Pasti males banget kan, dan anda bisa mencari pengandaian lain sesuai dengan keadaan lingkungan/ daerah anda – kemudian bayangkan…….

Pasti diperjalanan kehidupan anda, banyak menemukan kebingunan menentukan jati diri. Ketidakpastian menjadi warga minoritas, serta kecemasan menghadapi wajah kekerasan – seperti yang dulu dialami warga Tionghoa  walaupun memang situasinya berbeda. 

kondisi di Indonesia yang beribu-ribu pulau, bahasa, suku, budaya, kepercayaan, kepentingan, saya mengucapkan syukur Alhamdulillah karena banga Indonesia merasa satu dan saling menghormati -seperti yang saya tulis  di posting Tidak ada Ruh diantara Mereka.

2 komentar:

  1. Beruntung di Indonesia ada Bhineka Tunggal Ika, walaupun berbeda tapi tetap bersatu karena punya bahasa Indonesia.....
    Salam Bertuah !

    BalasHapus
  2. Bahasa Indonesianya berasal dari Bahasa Melayu,....pas deh

    BalasHapus

Barusan Pulang

Friendship