Minggu, 16 Januari 2011

Atasanku menantang untuk Korupsi

Once upon a time at meeting room, atasan menantang saya …..eng ing enggg. Nantang apaan nih, tarung zal?  enggak lah: beliau meminta saya untuk menulis mengenai budaya korupsi yang makin parah – apalagi saat ini sedang hangat-hangatnya Gayus pelesiran ke luar negeri. Di satu sisi saya senang cos atasan saya pastinya telah mengunjungi Blog Sing Biasane (BSB) ini, di sisi yang lain saya tertekan untuk merealisasikannya. Ini masalah kepercayaan dan integritas saya sebagai owner, karyawan dan sebagai masyarakat di perumahan saya…..diengg.
 

Beliau bicara “apakah dengan menaikkan gaji pegawai, bisa menurunkan tingkat korupsi”, Sule bicara “oh, tidak bisa”, saya bicara “hempk….mana saya tahu??”. Gak siap nih nulis tema ini - but tetap harus dicoba, cos selama ini posting di BSB aja banyak juga yang dadakan. “Bahas dengan pengertian/ bahasa yang ringan-ringan aja” ucap beliau, wah itu BSB banget : Sederhana dan biasa aja.

Budaya korupsi bisa jadi salah satu penyebab terjadinya kemunduran dan keterbelakangan suatu masyarakat. “Sebuah bangsa akan hancur ketika moralitasnya hancur”, tegas penyair Arab, Syaiquni Beik. Persoalan korupsi di Indonesia ibarat sebuah lingkaran setan yang tidak ketahui ujung pangkalnya, dari mana mengurainya dan bagaimana mencegahnya. Korupsi sudah menjadi bagian dan budaya masyarakat dan telah melibatkan hampir semua orang dan kian merajalela.

Kita mengangap setiap orang-orang di pemerintahan semuanya pasti telah melakukan korupsi, apalagi di masa pemerintahan Suharto. Yang namanya KKN ada dimana-mana, mungkin saat pemerintahan Suharto itu kali – dimulainya praktek korupsi.  Dan kita mengangap juga dengan mengganti pemimpin tertinggi, semua permasalahan (termasuk korupsi) akan bisa diselesaikan. Kita sibuk mencari dan memilih pemimpin yang adil, jujur, tegas, bersih, putih, mengkilap…haiyah tapi sebagai rakyat, masyarakat dan pribadi kita masih menerapkan pola-pola korupsi di kehidupan sehari hari. Yang jualan mengurangi timbangan, polisi tidak menyetor sanksi tilang, yang kerja menambah jam istirahat, pegawai pulang lebih awal, dkk.

Lha terus mengapa koruptor tdak merasa bersalah? .,…………. Hal ini mungkin dikarenakan banyak orang yang melakukannya, berarti sesuatu yang biasa dan kebiasaan itu kemudian menciptakan hak. Jika satu dituntut, semua harus bertanggung jawab. Kalau semua bertanggung jawab bukankah sama dengan tidak ada yang bertanggung jawab? Bener kan.

Persis seperti tindakan penjarahan atau pembunuhan yang dilakukan banyak orang. Dengan melakukan beramai-ramai seolah-olah tindakan itu sah karena semua ikut, untuk kepentingan umum. Siapa yang berani melawan kepentingan umum? Alasan banyak orang yang melakukan -  dijadikan alibi tanggung jawab pribadi dan menjadikan kejahatan menjadi hal biasa. Dan akhirnya kebiasaan jahat membungkam hati nurani.

Free Download

0 comments:

Posting Komentar

Barusan Pulang

Friendship